Selasa, 28 Juni 2011

KAJANG AMMATOA

Kajang, tidak sekedar nama wilayah di kabupaten Bulukumba. Kajang identik dengan kepercayaan. Bukan hanya soal fisik yang ditampilkan keseharian dengan pakaian seragam ‘hitam-hitam’ tapi juga keyakinan mereka yang teguh dan tak tergoyahkan yang dianut selama ini.

Di antara suku bangsa ynag ada, di Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulukumba, Kecamatan Kajang, terdapat satu kelompok masyarakat yang kokoh memegang tradisinya. Mereka mempertahankan pola yang dilahirkan oleh sistem nilai budaya warisan nenek moyangnya dan cenderung kurang menerima, bahkan sebagian ditolak sama sekali hal-hal baru (modernisasi).

Komunitas Ammatoa mudah dikenal karena menampakkan ciri-ciri yang membedakannya dari kelompok sosial lainnya. Spesifikasinya bukan hanya terdapat pada atribut yang dikenakan seperti; baju celana yang hampir menyentuh lutut, sarung, daster, ikat kepala yang dikenakan bagi kaum lelaki, yang semuanya berwarna hitam.

Mengenal Kebudayaan Ammatoa

Masyarakat Ammatoa pada umumnya berprinsip kamase-masea. Maksudnya suatu konsepsi dengan muatan: lambusu’ (jujur), gattang (tegas), sa’bara (sabar), dan apisona (pasrah sepasrah-pasrahnya). Prinsip ini diselimuti oleh ikatan-ikatan emosi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan karena mengandung nilai-nilai keramat yang disertai imbalan dan sanksi yang juga keramat.

Kegiatan yang tampak dalam kehidupan mereka adalah kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan hidup yang bukan duniawi. Melainkan tujuan alam ghaib (berkumpul bersama “Tuhan” dan Tu Salama’ di tempat yang telah dijanjikan).

Sejarah Berdirinya Kebudayaan Ammatoa

Menurut suku Amma, Ammatoa ada sejak manusia dilahirkan ke bumi. Menurut mereka Amma ada bersamaan dengan manusia sebelum-sebelum kita (manusia purba). Jadi, Ammatoa sudah ada sejak jaman purba.


Perkembangan Kebudayaan Ammatoa

Struktur kehidupan masyarakat Ammatoa amat dibatasi oleh prinsip kamase-masea. Kamase-masea adalah suatu pola sikap dan pola berpikir komunitas Ammatoa yang menyangkut semua hal di dalam kehidupannya. Pola itu diilhami oleh nilai-nilai yang dikandung dalam pasang.

Sistem Kepercayaan dan Agama Masyarakat Ammatoa

Kepercayaan atau religi adalah kegiatan keagamaan manusia dalam hubungannya dengan budaya. Artinya, perilaku keagamaan dilihat sebagai bagian dari kebudayaan dan terpisah dari pengertian agama menurut definisi agama-agama seperti Islam, Kristen, dan agama lainnya.

Religi sebagai gejala manusiawi sudah diterangkan dalam berbagai macam teori. Pengkategorian teori asal mula religi terdiri atas:

¨      Teori yang bercorak psikologis
¨      Teori yang bercorak sosiologis
¨      Teori yang bercorak gabungan psikologis dan sosiologis

Adapun sistem kepercayaan masyarakat Ammatoa adalah menekankan usaha mengekang hawa nafsu untuk tidak melaksanakan perbuatan yang tidak sesuai dengan moral yang dapa merugikan orang lain. Juga tidak merusak alam, menaati aturan-aturan pemimpin, jujur, tegas, sabar, rendah diri, dan tidak cinta materi. Serta pasrah sepasrah-pasrahnya untuk mencapai tujuan keselamatan di alam ghaib.

Ketaatan mereka dalam menjalankan prinsip kamase-masea disebabkan oleh:
¨      Adanya imbalan kalumannyang kalupepeang (kekayaan tiada taranya)
¨      Adanya sanksi bagi yang tidak menjalankannya. Sanksi yang dijatuhkan berupa sanksi biasa (pengusiran dari wilayah Tana Kamase-mase atau pengucilan dari semua kegiatan masyarakat) dan yang lebih berat lagi adalah sanksi sakral (penolakan Tuhan terhadap arwahnya apabila mati).


Masyarakat ammatoa pada umumnya menganut agama Islam. Akan tetapi, mereka belum sepenuhnya menjalankan rukun islam. Seperti shalat lima waktu, berpuasa, dan berhaji. Tetapi masyarakat Ammatoa tidak mau dikatakan sebagai non-islam.

Perkembangan Sarana dan Prasarana di Ammatoa

Masyarakat Ammatoa sejak dahulu menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Mereka tidak mau naik mobil atau sepeda motor dan lebih memilih untuk berjalan kaki sekalipun harus menempuh jarak yang cukup jauh.

Perkembangan IPTEK di Ammatoa

Mengenai pendidikan, banyak warga Ammatoa yang juga mementingkan pendidikan bagi mereka dan anak-anaknya. Buktinya, ada beberapa warga Ammatoa yang menjadi tokoh pendidikan di kalangan manusia yang telah mengalami banyak pergeseran (modernisasi). Akan tetapi, perkembangan IPTEK tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam wilayah Ammatoa. Karena mereka sangat menolak adanya perubahan terhadap kebudayaan mereka.

Hal ini dapat dibenarkan, karena setelah melakukan pengamatan langsung, memang masyarakat di sana seperti tidak mengenal perubahan teknologi di luar Ammatoa. Kami tidak pernah melihat adanya TV, radio, ataupun sepeda. Kehidupan mereka sangat alami.

Keadaan ketika Masyarakat Ammatoa Berduka

Agama warga Ammatoa 100% Islam. Ketika Amma berduka taksiyah dilakukan selama 100 hari, dan bagi keluarga yang ditinggalkan tidak boleh memakai baju. Hanya menggunakan sarung berwarna hitam selama 100 hari.

Leave a Reply